Senin, 19 Desember 2011

Garuda Di Dadaku 2

 

Setelah Lima Elang, petualangan Rudi Soedjarwo dalam mengeksplorasi kemampuannya dalam mengarahkan film-film yang temanya sebagian besar ditujukan bagi para penonton muda dan mereka yang menggemari film-film keluarga berlanjut dalam Garuda Di Dadaku 2. Namun, kali ini Rudi harus mengemban beban yang cukup berat dalam mengarahkan sebuah sekuel dari film yang berhasil menjadi salah satu film dengan raihan jumlah penonton terbesar ketika dirilis pada tahun 2009 lalu. Bukan, beban utama Rudi bukan terletak pada cara dirinya untuk mengajak kembali sejumlah besar penonton tersebut untuk kembali menyaksikan sekuel dari Garuda di Dadaku. Rudi kini harus mengambil tampuk kepemimpinan produksi dari tangan seorang Ifa Isfansyah yang telah berhasil meramu naskah karya Salman Aristo yang sebenarnya terasa begitu familiar namun tetap berhasil tampil dengan daya pikat yang penuh. Dan hal itu jelas bukanlah sebuah tugas yang mudah.
Dalam Garuda di Dadaku 2, Bayu (Emir Mahira – dalam penampilannya selepas meraih Piala Citra untuk kemampuan aktingnya yang sangat mempesona dalam Rumah Tanpa Jendela, 2011) kini tengah menjalani mimpi yang selama ini ia angan-angankan. Ia terpilih menjadi salah satu anggota tim nasional sepakbola Indonesia U-13. Bahkan, karena kemampuannya yang handal, ia juga terpilih sebagai seorang kapten bagi timnya. Namun, mimpi tak selamanya harus berjalan indah. Kegagalan demi kegagalan yang dialami timnas U-13 membuat banyak pihak tak puas yang akhirnya membuat posisi pelatih mereka, Harri Dotto (Dorman Boerisman) akhirnya diganti dengan seorang pelatih yang jauh lebih muda namun sangat ambisius, Wisnu (Rio Dewanto).
Cara Wisnu melatih sangat jauh berbeda dari Harri Dotto yang mengutamakan keakraban dan kekeluargaan antara sesama pemain. Wisnu memilih untuk melatih timnya dengan begitu keras agar mereka mampu mengeluarkan keahlian sepakbola terbaik mereka ketika bertanding. Wisnu bahkan mendatangkan Yusuf (Muhammad Ali), seorang pemain muda berbakat langsung dari Makassar. Perubahan-perubahan ini secara perlahan memberikan pengaruh pada Bayu. Ia menilai cara Wisnu melatih terlalu keras. Yusuf, yang kemudian mulai mendapatkan perhatian lebih banyak darinya, juga dipandang telah merusak hubungan Bayu dengan sahabatnya, Heri (Aldo Tansani). Tidak hanya datang dari dunia sepakbola, hubungan Bayu dengan ibunya, Wahyuni (Maudy Koesnaedi), meregang akibat sang ibu yang sibuk dengan bisnis baru bersama rekannya, Rudi (Rendi Krisna). Ia juga memiliki permasalahan dengan pembagian waktu berlatih sepakbola dengan waktu sekolahnya, khususnya ketika ia harus berhadapan dengan Anya (Monica Sayangbati), pemimpin sebuah kelompok belajar yang ia ikuti yang seringkali tidak mengerti posisi Bayu sebagai seorang kaptem dari tim nasional sepakbola Indonesia. Berbagai gejolak ini kemudian menjadi tantangan Bayu dalam tetap memberikan permainan sepakbola terbaik bagi kelompoknya.
Berbeda dengan Tendangan Dari Langit – film bertema sepakbola yang diarahkan oleh Hanung Bramantyo dan dirilis terlebih dahulu pada thun ini – Salman Aristo tidak lagi menyertakan penggalian karakter yang mendalam terhadap beberapa karakter lama yang kembali dihadirkan dalam Garuda Di Dadaku 2. Dalam satu sisi, Salman kemudian menggantinya dengan pendewasaan atau perubahan karakter yang dialami oleh deretan karakter lama tersebut. Ini khususnya terlihat pada karakter Bayu yang kini harus dihadapkan pada berbagai konflik pribadi yang sekaligus menguji kedewasaannya dalam bersikap. Di sisi lain, kurangnya karakterisasi tersebut membuat penonton merasa seperti orang luar dalam menyimak Garuda Di Dadaku 2. Ikatan emosional antara penonton dengan para karakter yang ada di dalam jalan cerita tidak pernah benar-benar hadir dan terbentuk. Akibatnya, kebanyakan momen dalam Garuda Di Dadaku 2 berakhir datar ataupun gagal untuk tampil mengesankan.
Konflik yang dialami oleh karakter Bayu juga mengalami pertambahan yang signifikan jika dibandingkan dengan konflik yang ia alami di seri sebelumnya. Konflik-konflik tersebut – yang berasal dari keluarga, sahabat, sekolah hingga hobinya sendiri – sayangnya gagal untuk dapat digali secara penuh. Hubungan antara karakter Bayu-Wahyuni-Rudi tidak pernah mampu tampil mendalam. Chemistry antara karakter Bayu dan Anya tidak pernah tampil memikat. Konflik persahabatan antara karakter Bayu dan Heri juga tampil terlalu dangkal. Konflik demi konflik yang dihadirkan secara bergantian dalam Garuda Di Dadaku 2 membuat fokus penceritaan sering terpecah dan kurang begitu berhasil untuk memberikan sebuah daya tarik yang kuat.
Dari sisi teknis penceritaan, Garuda Di Dadaku 2 seringkali hadir dengan ritme penceritaan yang kelewat datar. Terlepas dari beberapa momen pertandingan sepakbola atau momen komedi yang dihasilkan oleh karakter Dulloh (Ramzi), Garuda Di Dadaku 2 nyaris hadir tanpa pesona yang cukup kuat untuk dapat membuat penontonnya mampu bertahan di kuris mereka. Puncaknya, Garuda Di Dadaku 2 juga menghadirkan sebuah adegan pertandingan vital yang jelas akan menjadi sumber utama emosi dan intensitas film ini. Sayangnya – kembali harus diperbandingkan dengan Tendangan Dari Langit – momen-momen menegangkan dan emosional tersebut tidak pernah dapat tercapai. Tercapai, namun dengan durasi yang terlalu singkat untuk dapat diresapi penontonnya.
Untungnya, Garuda Di Dadaku 2 didukung oleh barisan pengisi departemen akting yang sangat kuat. Mulai dari pemeran utama seperti Emir Mahira hingga Rio Dewanto, hingga para pemeran pendukung seperti Ramzi berhasil memberikan kapasitas akting yang memuaskan. Catatan khusus untuk Rio Dewanto. Beberapa minggu sebelumnya, Rio berhasil memikat penonton Indonesia lewat perannya sebagai seorang pria homoseksual dalam Arisan! 2 (2011). Dalam film ini, Rio membuktikan jangkauan aktingnya yang begitu luas. Sebagai Wisnu, seorang pelatih sepakbola yang ambisius, Rio tampil begitu memikat dan dengan daya tarik yang begitu kuat. Jika sebelumnya Rio Dewanto hanya dianggap sebagai aktor yang hanya bermodalkan tampang tampan belaka, maka dua perannya dalam Arisan! 2 dan Garuda di Dadaku 2 akan cukup mampu membuat setiap orang sadar bahwa Rio adalah seorang aktor dengan kemampuan akting yang begitu mendalam.
Dari sisi teknikal, Garuda Di Dadaku 2 tampil tanpa kelemahan yang berarti. Pemilihan sinematografi hingga tata musik yang menemani di setiap adegan berhasil membuat film ini tampil berkelas. Adalah jalan cerita yang terlalu biasa yang membuat Garuda Di Dadaku 2 akan terasa cukup sulit untuk mampu tampil semenarik film pertamanya. Konflik-konflik yang lebih dewasa yang coba dihadirkan memang mampu dikelola Rudi Soedjarwo dengan baik. Namun menumpuknya konflik-konflik tersebut akhirnya justru membuat jalan penceritaan menjadi kurang begitu terfokus. Pun begitu, secara keseluruhan, Garuda Di Dadaku 2 adalah sebuah film yang masih cukup mampu untuk tampil apik dan menghibur. Tidak mengecewakan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar